Rabu, 25 Maret 2015

Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia "Marsinah"

Nama : Eka septiani
Npm   : 12213817 / 2EA10
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia “Marsinah”

BAB I
 PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi, pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari satu dasawarsa berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa penyidikan sekaligus membuat skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia menganugerahi Yap Thiam Hien Award  bagi kegigihannya. Termasuk para seniman yang mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak gencar diberitakan oleh media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran HAM  diikuti seluk beluk kasus Marsinah.


BAB 2
PEMBAHASAN


2.Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Kasus Marsinah (1993)
Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.
Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
3.Faktor Penyebab Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Faktor penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perussahaan CPS yang tidak mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan kenaikan UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu geram para pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja.
Lalu faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13 pekerjanya dengan cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini menjadikan Marsinah penuh amarah.
Fakor yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari segi ekonomi :
  1. Terjadi kredit macet
  2. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
  3. Banyak perusahaan yang tidak dapat membayar hutangnya
Dari segi politik :
  1. Pemimpian saat itu telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
  2. Terjadi kekacauan dan kerusuhan di mana-mana
  3. Terjadi perpecahan dalam kubu kabinet Soeharto
4.      ANALISA KASUS
Didalam Posisi kasus yang sudah ada di atas, adapun kasus tersebut masuk dalam katagori pelanggaran ham Berat karena di dalam perincian mengenai posisi kasus diatas terdapat salah satu unsure yang memuat mengenai unsure-unsur pelanggaran HAM Berat yakni Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan … adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid.

Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1. Tahap Penyelidikan ( Komnas HAM )
2. Tahap Penyidikan ( Jaksa Agung )
3. Tahap Penuntutan ( Jaksa Agung )
4. Pemeriksaan Di Pengadilan HAM
Sumber: Diolah dari UU No 26 Tahun 2000


4.Solusi Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Terkait kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan hasil yang nyata, dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sementara solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian hukum dalam menjamin keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-haknya sendiri dan hak orang lain.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
Saran
Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak Asasi Manusia.

Sumber Referensi:








 

 

Eka septiani Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos