Nama : Eka septiani
Npm : 12213817 / 2EA10
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia “Marsinah”
BAB
I
PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang
Hak
Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya
sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan
gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri.
Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu
terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan
marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama dekade
terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti
untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya
yang tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara
pasti oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak
dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa
hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi, pengadilan
sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan memuaskan.
Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya
begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari
satu dasawarsa berselang.
Barangkali
memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan
jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang
rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis
menyanjungnya sebagai teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu
aparat setempat konon merekayasa penyidikan sekaligus membuat skenario
pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan
kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia
menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya.
Termasuk para seniman yang mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan,
panggaung teater dan seni rupa instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai
korban kekerasan terhadap perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan
simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada
aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak
akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak
gencar diberitakan oleh media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib
malang” jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada
pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja buruk sekaligus tak
terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya
menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan
kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat,
birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah
reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan
HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya
menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita
karena semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah
kami menyusun makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di
Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran
HAM diikuti seluk beluk kasus Marsinah.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.Contoh
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Kasus
Marsinah (1993)
Kasus
tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur
setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah
bekerja memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin
3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja
hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan
pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan
permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya
permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.
Namun
esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah
marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke
pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak
wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan,
Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi
melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda
keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan
benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah,
diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama
menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara
resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di
pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus
kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya
kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan
dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah
Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara
telah berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik,
mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani
berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
3.Faktor
Penyebab Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Faktor
penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perussahaan CPS yang tidak
mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan
kenaikan UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu
geram para pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan
mogok kerja.
Lalu
faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati
perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13 pekerjanya
dengan cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini
menjadikan Marsinah penuh amarah.
Fakor
yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari
segi ekonomi :
- Terjadi kredit macet
- Jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar
- Banyak perusahaan yang tidak
dapat membayar hutangnya
Dari
segi politik :
- Pemimpian saat itu telah
kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
- Terjadi kekacauan dan kerusuhan
di mana-mana
- Terjadi perpecahan dalam kubu
kabinet Soeharto
4.
ANALISA KASUS
Didalam Posisi kasus yang sudah ada di atas, adapun kasus tersebut masuk dalam katagori pelanggaran ham Berat karena di dalam perincian mengenai posisi kasus diatas terdapat salah satu unsure yang memuat mengenai unsure-unsur pelanggaran HAM Berat yakni Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan … adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid.
Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1. Tahap Penyelidikan ( Komnas HAM )
2. Tahap Penyidikan ( Jaksa Agung )
3. Tahap Penuntutan ( Jaksa Agung )
4. Pemeriksaan Di Pengadilan HAM
Sumber: Diolah dari UU No 26 Tahun 2000
Didalam Posisi kasus yang sudah ada di atas, adapun kasus tersebut masuk dalam katagori pelanggaran ham Berat karena di dalam perincian mengenai posisi kasus diatas terdapat salah satu unsure yang memuat mengenai unsure-unsur pelanggaran HAM Berat yakni Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan … adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid.
Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1. Tahap Penyelidikan ( Komnas HAM )
2. Tahap Penyidikan ( Jaksa Agung )
3. Tahap Penuntutan ( Jaksa Agung )
4. Pemeriksaan Di Pengadilan HAM
Sumber: Diolah dari UU No 26 Tahun 2000
4.Solusi Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Terkait
kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera
mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan
hasil yang nyata, dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan
hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari
pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sementara
solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian hukum
dalam menjamin keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-haknya
sendiri dan hak orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
HAM
adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu
kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam
kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI,
dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang,
kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam
pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui
hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan
HAM. Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara
paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas
keamanan dan politik pada zaman Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah
bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan
semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror
ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga
telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan
selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita
komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah
hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali
harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan
kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan
rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian
memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia
yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak
kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang
mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk
mengurainya.
Saran
Sebagai
makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang
lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM
kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah
membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh
buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang kasus Marsinah atas
nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah
sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah
menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap
Hak Asasi Manusia.
Sumber Referensi: